DISIPLIN adalah kepatuhan untuk menghormati dan
melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada
keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan
kata lain, disiplin adalah sikap mentaati peraturan dan ketentuan yang
telah ditetapkan tanpa pamrih. Dalam ajaran Islam banyak ayat Al Qur’an
dan Hadist yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada
peraturan yang telah ditetapkan, antara lain surat An Nisa ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah
kepada rasul-Nya dan kepada Ulil Amri dari (kalangan) kamu …” (An Nisa:
59)
Disiplin adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat
yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha maupun belajar,
pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan
agama dan jauh dari sifat putus asa. Perlu kita sadari bahwa betapa
pentingnya disiplin dan betapa besar pengaruh kedisiplinan dalam
kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa maupun
kehidupan bernegara.
1. Disiplin dalam penggunaan waktu
Tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang yang berhasil mencapai sukses
dalam hidupnya adalah orang-orang yang hidup teratur dan berdisiplin
dalam memanfaatkan waktunya. Disiplin tidak akan datang dengan
sendirinya, akan tetapi melalui latihan yang ketat dalam kehidupan
pribadinya. Orang yang tidak dapat memanfaatkan waktu adalah orang yang
merugi. Aa Gym mengungkapkan dari tausyiahnya “Jika kita tahu siapakah
orang yang terbodo, maka lihatlah orang yang memiliki modal waktu,
tenaga, dan kemampuan lainya tetapi menghambur-hamburkanya”
2.Disiplin dalan beribadah
Menurut bahasa, ibadah berarti tunduk atau merendahkan diri.
Pengertian yang lebih luas dalam ajaran Islam, ibadah berarti tunduk dan
merendahkan diri hanya kepada Allah yang disertai dengan perasaan cinta
kepada-Nya. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa disiplin
dalam dalam beribah itu mengandung dua hal: (1) berpegang teguh apa yang
diajarkan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah atau larangan,
maupun ajaran yang bersifat menghalalkan, menganjurkan, sunnah, makruh
dan subhat; (2) sikap berpegang teguh yang berdasarkan cinta kepada
Allah, bukan karena rasa takut atau terpaksa. Maksud cinta kepada Allah
adalah senantiasa taat kepada-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam
Surat Ali Imran ayat 31:
‘’Katakanlah: ‘’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’’. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran 31).
3. Disiplin dalam bermasyarakat
Hidup bermasyarakat adalah fitrah manusia. Dilihat dari latar
belakang budaya setiap manusia memiliki latar belakang yang berbeda.
Karenanya setiap manusia memiliki watak dan tingkah laku yang berbeda.
Namun demikian, dengan bermasyarakat (animal education/hayawunnatiq),
mereka telah memiliki norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan serta
peraturan yang disepakati bersama yang harus dihormati dan dihargai
serta ditaati oleh setiap anggota masyarakat tersebut. Agama Islam
mengibaratkan anggota masyarakat itu bagaikan satu bangunan yang di
dalamnya terdapat beberapa komponen yang satu sama lain mempunyai fungsi
yang berbeda-beda, manakala salah satu komponen rusak atau binasa.
Hadist Nabi SAW menegaskan:
“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan bangunan yang sebagian
dari mereka memperkuat bagian lainnya. Kemudian beliau menelusupkan
jari-jari tangan sebelah lainnya’’. (H.R. Bukhori Muslkim dan Turmudzi)
4. Disiplin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Negara adalah alat untuk memperjuangkan keinginan bersama berdasarkan
kesepakatan yang dibuat oleh para anggota atau warganegara tersebut.
Tanpa adanya masyarakat yang menjadi warganya, negara tidak akan
terwujud. Oleh karena itu masyarakat merupakan prasyarat untuk
berdirinya suatu Negara. Tujuan dibentuknya suatu negara adalah seluruh
keinginan dan cita-cita yang diidamkan oleh warga masyarakat dapat
diwujudkan dan dapat dilaksanakan. Rasulullah bersabda yang artinya:
‘’Seorang muslim wajib mendengar dan taat, baik dalam hal yang
disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk
mengerjakan maksiat. Apabila ia diperintah mengerjakan maksiat, maka
tidak wajib untuk mendengar dan taat’’. (H.R. Bukhori Muslim)
BERTANGGUNG JAWAB
Tanggung jawab adalah sifat terpuji yang mendasar dalam diri manusia.
Tanggung jawab mempunyai kaitan yang sangat erat dengan perasaan.
Perasaan nurani kita, hati kita, yang mempunyai pengaruh besar dalam
mengarahkan sikap kita menuju hal positif. Nabi bersabda: “Mintalah
petunjuk pada hati (nurani) mu.”
Dalam wacana keislaman, tanggung jawab adalah tanggung jawab
personal. Seorang muslim tidak akan dibebani tanggung jawab orang lain.
Allah berfirman: “Setiap jiwa adalah barang gadai bagi apa yang ia
kerjakan.” Dan setiap pojok dari ruang kehidupan tidak akan lepas dari
tanggung jawab. “Kullukum râ’in wa kullukum mas’ûlun ‘an Ro‘iyyatih”.
Tanggung jawab bisa dikelompokkan dalam dua hal;
1. Tanggung jawab individu terhadap dirinya pribadi. Dia harus
bertanggung jawab terhadap akal (pikiran) nya, ilmu, raga, harta, waktu,
dan kehidupannya secara umum.
Rasulullah bersabda: “Bani Adam tidak akan lepas dari empat
pertanyaan (pada hari kiamat nanti); Tentang umur, untuk apa ia
habiskan; Tentang masa muda, bagaimana ia pergunakan; Tentang harta,
dari mana ia peroleh dan untuk apa ia gunakan; Tentang ilmu, untuk apa
ia amalkan.”
Dalam sejarah Ulama Salaf, diriwayatkan bahwa khalifah rasyidin ke V
yaitu Umar bin Abdul Aziz dalam suatu shalat tahajjudnya membaca ayat
22-24 dari surat ash-shoffat Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa
kali karena merenungi besarnya tanggungjawab seorang pemimpin di akhirat
bila telab melakukan kedzaliman.
Dalam surat Al Mudatstsir ayat 38 dinyatakan
Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya”
2. Bertanggung jawab terhadap orang lain. Dalam riwayat lain Umar bin
Khatab r.a. mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di
akhiarat nanti dengan kata-katanya yang terkenal : “Seandainya seekor
keledai terperosok di kota Baghdad nicaya Umar akan dimintai
pertanggungjawabannya, seraya ditanya : Mengapa tidak meratakan jalan
untuknya?” Itulah dua dari ribuan contoh yang pernah dilukiskan para
salafus sholih tentang tanggungjawab pemimpin di hadapan Allah kelak.
Tanggung jawab seorang berkaitan erat dengan kewajiban yang
dibebankan padanya. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat maka
semakin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara
bertanggung jawab atas prilaku dirinya, keluarganya, saudara-saudaranya,
masyarakatnya dan rakyatnya. Hal ini ditegaskan Allah sbb.; “Wahai
orang-orang mukmin peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
(At-Tahrim: 6) Sebagaimana yang ditegaskan Rasululah saw : “ Setiap kamu
adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban
atas kepemimpinannya..” (Al-Hadits)
Tanggungjawab vertikal ini bertingkat-tingkat tergantung levelnya.
Kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala
negara, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan
ruang lingkup yang dipimpinnya. Seroang mukmin yang cerdas tidak akan
menerima kepemimpinan itu kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa
akan mempeprbaiki dirinya, keluarganya dan semua yang menjadi
tanggungannya. Para salafus sholih banyak yang menolak jabatan sekiranya
ia khawatir tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Tanggungjawab kepada orang lain yang tidak kalah pentingnya adalah
kewajiban kita dalam mendakwahkan islam kepada orang lain,
masuliatudda’wah. Tanggung jawab dalam berdakwah. Ust Anis matta dalam
tausyiahnya menyampaikan: “Setiap orang berhak mendapatkan fasilitas
dakwah, dan sungguh sangat dzolim tatkala ada seseorang yang telah
mengetahui dan memahami islam tapi tidak mau mendakwahkanya kepada orang
lain”. Terlebih dakwah adalah pekerjaan yang mulia. Perkerjaan para
nabi rasul. Beruntunglah orang yang mau mengikhlaskan dan mengazamkan
dirinya untuk Allah dan rasulnya. Peduli dengan hati orang lain, agar
diisi dengan keimanan.